Wednesday, October 4, 2017

Maradapan: Penuhi Tantangan Benteng Takeshi untuk Capai Daratan

Pernah nggak denger Pulau Maradapan? Atau sekarang katanya lebih dikenal secara administratifnya Pulau Kadapangan?

Melanjutkan cerita perjalanan ENJ yang telah saya tulis sebelumnya mengenai behind the scene’-nya. Oke, mungkin sebelumnya ada yang nanya, “kok bisa sih nemu tuh pulau?” Sebenarnya awalnya pun, kami mencetuskan lokasi dari tim ENJ UGM itu di Maradapan, karena berdasarkan jalur yang telah disediakan, nama pulau ini cukup mencuri perhatian. Enggak tau kalau perhatian dia ke kamu gimana ya..*plak*

Jalur yang disediakan sesuai dengan kapal-kapal yang memang disediakan dari pusat gitu, jadi kami tinggal memilih pulau mana yang dilalui kapal tersebut. Dikarenakan posisi kami di Jawa, jadi tidak begitu banyak pilihan yang bisa dipilih kalau ingin tetap berangkat dari salah satu pelabuhan yang ada di Jawa. Pilihan yang sangat memungkinkan adalah yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Terpilihlah jalur Kapal Sabuk Nusantara 57, yang ternyata menuju Kalimantan Selatan. Nah, lumayan kan bisa mampir provinsi lain di pulau lain ‘kan.

Ketika awal-awal memutuskan memilih Pulau Maradapan ini sih, jujur saja, kami agak gambling.  Coba aja deh searching di google. Bahkan, mesin pencari nomor satu di dunia ini, hanya memiliki sedikit sekali tautan mengenai pulau ini, yang lebih herannya lagi, di google maps, ada tulisan Pulau Maradapan tapi nggak ada pulaunya coba. Piye coba? Sepertinya memang kami perlu memperbaiki titik lokasi Pulau Maradapan. Setelah kami tau nama aslinya, ternyata di google maps mengenalnya sebagai Pulau Kadapangan.

Keywords yang sering muncul begitu mengetik “Maradapan” adalah Air Asia, jenasah, dan evakuasi. Ternyata ada beberapa jenasah korban Air Asia yang ditemukan di sekitaran pulau ini. Awalnya hanya mendapat informasi itu saja, ditambah informasi administratif lain, seperti luas pulau, jumlah KK, potensi alam, yang sebenarnya informasinya juga masih minim.

Setiap ada orang yang menanyakan kami akan kemana, begitu mendengar Pulau Maradapan, mereka – orang pulau tetangga lainnya – memberikan kami beberapa peringatan, seperti jangan langsung menerima makanan di sana, jangan langsung mandi, jangan tidur di pagi hari. Cukup banyak pengingat yang memberikan kami masukan.

Well, langsung aja sekarang gimana sih sebenarnya Pulau Maradapan itu?

Jarak dari Kapal Sanus 57 menuju daratan. Jauh kan?


Seperti yang sudah saya sampaikan dipostingan sebelumnya, selalu aja cerita yang unexpected terjadi dalam perjalanan ini. Setelah dua hari mengarungi lautan, akhirnya kami benar-benar-benar sampai di Pulau Maradapan (ya..masih inget rasanya diPHP berkali-kali sebelumnya). Sekilas lautnya bening banget, pulaunya cenderung berbentuk bukit gitu dan yang lebih mengagetkan 65% lahannya penuh sampai pohon pisang, bukan pohon kelapa! How can? Saya pun tak tau alasannya.

Ini kapal getek yang kami tumpangi. Foto ini saya ambil dari atas kapal.

Cerita seru yang nggak akan pernah saya lupakan adalah cara kami ke daratan yang ternyata sangat-membutuhkan-usaha-keras-yang-luar-biasa. Ada beberapa tahapan yang perlu kami lalui. Pertama, Pulau Maradapan nggak punya dermaga, jadi kapalnya hanya bisa berlabuh dan agak jauh dari pulau. So, kami harus naik kapal getek yang lebih kecil untuk menuju pulau. Awalnya barang-barang diutamakan untuk dipindahkan ke atas kapal. Kemudian, kami berpamitan dulu dengan captain dan abk. Mulailah satu per satu turun ke kapal getek. Seingat saya sih nggak samapi 10 menit, kapal berhenti. Lha? Padahal daratan masih jauh deh dan ini masih dalem ya lautnya. Terus? Kami cuman bisa saling tengak-tengok doang. Nah, sebenarnya didekat kami berhenti sudah ada sebuah sterofoam besar yang mengapung. Kami heran kenapa ada sterofoam sebesar itu di sini. DAN! Jeng..jeng..jeng…itu digunakan untuk memindahkan penumpang ke daerah yang lebih dangkal airnya. EHHH?! Maksudnya?

Ini foto dari atas kapal getek sebelum move ke atas sterofoam

“Pak, beneran nih naik ke atas sterofoam?” “Iya, naik aja aman”

Nah yang putih-putih itulah sterofoam yang kami naiki. 

Akhirnya saya dan lima teman saya yang lain move ke atas sterofoam itu. Temen saya sih ada yang agak takut dikit, gimana nggak takut kalau nyemplung yaudah deh tuh wafat dua kamera fuji yang dia bawa. Saya pun agak parno, takut tiba-tiba nyemplung, ‘kan bawa hape, kamera pocket, terus duit tim juga. Untungnya ada dua orang ahli yang membantu kami berpindah. Waktu itu anginnya cukup kencang, so ombaknya juga lumayan bikin goyang-goyang cantiq kayak via vallen.

Mulainya kami perlahan-lahan menjauh dari kapal getek, dan…angin bertiup wuuuus. Topi saya terbang saudara-saudara! “Yaaaah, topi akuuuu” terus tiba-tiba BYUUUR! Untungnya bukan kami yang nyebur, ternyata salah seorang bapak yang mengantarkan kami, langsung nyebur gitu aja menyelamatkan topiku. OMG. Bapaknya langsung basah kuyub. Setelah sekitar lima menit bergerak mendekati daratan, terus bapaknya menghentikan sterofoamnya lagi. Lha, kenapa lagi sih? Kami disuruh turun. Padahal airnya masih agak tinggi, pas nyemplung tingginya di atas lutut. Yang lebih bikin ‘huff’ adalah jaraknya masih jauh ke daratan coy! Maybe, masih perlu berjalan 300 meter lagi lah.

Ini tantangan benteng takeshi yang harus dilalui. Ada tuh kapal yang di sebelah kanan yang kecil banget itu,  Sabuk Nusantara 57 berlabuh. Terus kalau ngeliat yang kuning itu, kapal geteknya. Foto ini diambil dari salah satu pemecah gelombang yang jaraknya mungkin 100 meter dari daratan.

Tantangan benteng takeshi kali ini adalah berjalan diantara karang-karang dan jebakan bulu babi. Untungnya nih air laut bening banget, jadi langsung keliatan banget dimana ada bulu babinya. Jadilah kami berpasang-pasangan berjalan menuju daratan. Kami sudah melihat beberapa warga menanti kami, memberikan arahan kemana harusnya kami berjalan. Jujur saja, saya agak takut jalan diantara karang-karang, takut ada binatang-binatang aneh yang terinjak, tapi jadinya sih hampir semuanya tetep pakai sandal gunung waktu jalan.

Ini sewaktu menuju dermaga, masih jauh kan ya? Oh iya, rumah tinggal kami sementara itu yang gentengnya wawrna biru. Nah, terus yang warnanya hijau tua terus banyak banget ngumpul itu adalah pohon pisang.
Setelah sampai di dekat jembatan yang terlihat seperti dermaga sementara, kami akhirnya benar-benar-benar-benar-benar sampai saudara-saudara!!! Setelah naik tangga ke atas, kami pun bersalaman dengan warga yang menyambut kami. Saya hanya bisa ketawa ngelihat temen-temen yang masih berjuang untuk mencapai daratan. Ada tiga kloter sterofoam jadinya.

Terus, barang-barang kalian yang seabrek itu gimana dong? Awalnya pun saya nggak habis pikir, gimana cara memindahkan tuh kardus yang ada beratnya sampai 10 kilo lebih. Ya, kali harus melewati tantangan benteng takeshi lagi ‘kan. Ternyata, barang akan ditinggalkan sementara di kapal getek. Menunggu air pasang dulu, supaya kapal bisa merapat ke daratan dan itu sekitar jam 17.30 kalau nggak salah. Saya salut banget dah sama orang-orang asli sini, harus basah dulu biar bisa sampai daratan.

Foto ini saya ambil dari atas dermaga sementara.
Nah, yang saya bilang pemecah gelombang itu, tempat anak kecil duduk itu. 

Baiklah, ini baru cerita di satu jam pertama saya menuju dan sudah sah sampai Pulau Maradapan. Bagaimana selanjutnya? Tunggu postingan selanjutnya lagi ya. Masih ada banyak cerita nyeleneh lain yang saya alami di perjalanan yang penuh kesan ini.

No comments:

Post a Comment