Sunday, October 8, 2017

Maradapan: Kami adalah Tamu Terjauh yang Berkunjung ke Sana!

Lanjut lagi dengan cerita perjalanan ENJ. Sesampainya di sana, mereka sangat menyambut kami dengan hangat dan ramah. Taukah kalian, ternyata kami adalah tamu terjauh yang pernah mengunjungi pulau ini. Waduh. Begitulah yang disampaikan perangkat desa di sana. Mungkin bupati belum pernah ke pulau ini, mungkin. Baiklah, mari mulai mengulas Pulau Maradapan, uhuy. 

Gimana sih rumah di sana?

Sebagaian besar rumah di sini, rumah panggung, jadi dibawahnya masih ada sela cukup banyak, terus ada tangganya untuk menuju rumah. Yang bikin agak serem menurutku adalah ternyata tiang-tiangnya dipasang gitu aja, bahkan ada yang ditaruh diatas batu gitu, kalau ada yang tingginya beda-beda tiangnya. Herannya juga, kok bisa tetep kokoh ya. Seperti yang udah saya sampaikan sebelumnya kalau Pulau Maradapan ini bentukannya bukit, jadi susah banget nyari daerah yang datar. Nah, untuk beberapa orang yang lebih berpunya, rumahnya udah kayak rumah pada umumnya yang disemen, dan bukan jenis rumah panggung. Termasuk rumah yang kami tinggali selama di Pulau Maradapan. Ada dua rumah yang menjadi tempat kami tinggal, satu rumah khusus yang perempuan dan satu rumah khusus untuk yang laki-laki.

Rumah panggung ada di kanan, yang kiri udah ada yang kayak rumah pada umumnya

Airnya gimana kak?

Namanya juga di pulau, kadang air memang menjadi permasalahan. Sebenernya sih, pulau ini punya sumber mata airnya sendiri, katanya sih dari bukit gitu. Jadi ada beberapa sumur yang tersebar di beberapa titik seantero pulau. Asin gak? Nah ini juga herannya, enggak asin sih. Sekali pun sumurnya terbilang cukup dekat dari bibir pantai. Nah, cuman nggak semuanya benar-benar bersih dan nggak berbau. Jadi, saya sempat mencoba beberapa sumur yang ada di sana, ngebandingin gitu sih, memang yang lebih jauh dari bibir pantai itu lebih bagus dan lebih bersih airnya.

Listrik? Susah pasti ya?

Begitulah…tiang listrik aja kagak ada deh setauku. Jadi di pulau ini ada panel surya cukup besar gitu deket pesisir pantai, sepertinya untuk supply listrik di desa ini sih. Mau ada kulkas? Yaelah ngimpi banget dah, udah syukur ada listrik dari jam 18.00 – 22.00. Cuman untuk beberapa keluarga yang memang lebih berpunya biasanya punya genset sendiri di rumahnya. Itu pun ya digunakan seperlunya saja, karena beli solar kan kudu keluar pulau juga ‘kan. Eh tapi ternyata, di rumah yang saya tinggali tv-nya, tv flat lho. Nggak mau ketinggalan jaman juga dong ya. Terus punya pure it juga!

Yah, sinyalnya juga brekele dong?

Yap, benar sekali. Salah satu tantangan wajib kalau udah ke daerah antah berantah adalah masalah listrik dan sinyal. Biasanya sih memang berbanding lurus, susah listrik biasanya ya susah sinyal juga. Untungnya ini bukan pengabdian pertama saya yang tanpa sinyal, sebelumnya saya pernah dua bulan susah sinyal saat KKN. Sesungguhnya tempat ini jauh lebih sulit lagi. Kenapa? Karena sinyal hanya ada di satu lokasi di pulau ini. Perlu berjalan dulu mungkin sejauh 1,5 km dulu lah. Melewati hutan dan pohon pisang. Tenang, jalurnya sudah sangat jelas, karena baru saja jalur menuju dusun sebelah diresmikan. Jalannya hanya selebar 1,5 meter. Lumayanlah, jalannya naik terus – naik naik ke puncak bukit mencari sinyal tinggi tinggi sekali – hehe. Nah, posisinya tepat di atas kuburan. Ya, kuburan. Paling hanya sepanjang 5 meter saja, sinyalnya ada. Itu pun perlu adaptasi dulu handphonenya, hanya satu provider yang ada sinyalnya. Tidak lain dan tidak bukan adalah telkomsel. Biasanya kalau sore sih lumayan anak muda nongkrong di sini, buat nelfonan sama orang di luar pulau gitu.

Ini jalan yang menuju dusun sebelah dan tempat sinyal. Ini pun baru saja jadi ternyata. Hanya disemen saja. 

Terus ngapain aja dong di sana?

Baiklah, saya akan menceritakan apa yang kami lakukan di pulau tersebut. Kami dibagi menjadi dua tim, yaitu tim kepulangan 1 dan tim kepulangan 2. Pembagian tim ini sih berdasarkan waktu yang sudah disepakati, awalnya sih mau bareng-bareng baliknya tanggal 14 September, namun berhubung jadwal yang terus berubah-ubah nggak jelas, yang sudah ada tanggungan di Yogya pulang lebih awal. Sisanya menunggu kapal selanjutnya yang akan datang sekitar 10-14 hari kemudian.

Sebenarnya apa yang kami lakukan di pulau ini tidak jauh berbeda seperti waktu KKN, bedanya hanya waktunya yang lebih singkat. Divisi kami hanya ada empat, yaitu divisi pendidikan, lingkungan, ekonomi dan pariwisata, serta kesehatan. Kebetulan saya bendahara, jadi nggak masuk di keempat divisi tersebut. Jadilah saya membantu proses dokumentasi.

Yeay! Panen hari ini banyak lho!
Hari pertama saya diajak untuk memanen singkong bersama pemilik rumah, wah lumayan nih. Kami perlu berjalan ke bukit dulu, nggak begitu jauh sih kalau yang ini. Kemudian, dimasak deh. Bumbunya sih seadanya aja. Jangan harap ada bumbu balado hehe. 

Lagi ngupas dan motong-motong singkong
Oh iya, di sini juga ada banyak warung lho! Warung kecil-kecilan gitulah. Perempuan di sini terbiasa untuk menggunakan bedak dingin di siang hari, karena panasnya cuaca. Berkat berkunjung ke pulau ini saya jadi paham, kenapa sih orang-orang pulau mukanya sering putih-putih, kadang nggak merata gitu keknya, nah itu ternyata bedak dingin yang dipakai. Terbuat dari beras dan air mawar. Katanya bagus juga untuk kulit lho.

Nah ini maksud saya, pakai bedak dingin. Versi pakai bedak dingin agak ketebelan hehe. Masih amatir sih, pertama kali nyoba nih. 
Saya juga menyempatkan diri ke dusun sebelah, yang kalau jalan aja perlu 1,5 jam lebih. Kalau sore-sore banyak yang main voli ternyata. Saya sempat mengunjungi rumah pak RT juga. Waktu kami datang, kami disuguhi kopi. Nah, jujur saja saya orangnya nggak bisa minum kopi hitam, atau bukan kopi rasa-rasa. Awalnya saya kira itu kopi asli Maradapan, tenyata kopi sachetan haha. Bego juga sih saya, mana ada kopi asli Maradapan. Ketika balik ke rumah, saya melihat sunset bagus banget! Mataharinya bulet banget sewaktu terbenam.

Yahud banget sunsetnya!
Nggak afdol rasanya kalau main ke pulau, tapi nggak nyicipin lautnya.

Baru sampai di tempat untuk berenang

Tentunya saya sudah persiapan dari jauh-jauh hari hahaha. Akhirnya beli snorkel demi nyoba snorkeling di Maradapan. Kami pun diantar oleh pemudah setempat untuk menuju lokasi untuk ‘nyebur’. Kalau nggak salah mungkin sejauh 1 km lebih dari rumah yang saya tempati. Seperti yang sudah saya sampaikan dipostingan sebelumnya, airnya bening! Baru nyampe aja saya udah nggak sabaran mau nyemplung. Eits, ingat pemanasan dulu ya biar nggak kram.

Sebelum mulai berenang, yah masih bening diri saya
Overall, not bad sih. Cuman kalau bandingin ama tempat lain sih, emang ada yang jauh lebih bagus dari ini sejauh saya pernah snorkeling. Saya sempat melihat kerang mutiara. Jenis ikannya nggak terlalu banyak kalau di spot saya ini, kalau mau yang lebih bagus, tentunya perlu lebih ke jauh lagi, yang lebih dalam lautnya. Yang menarik adalah sewaktu saya berenang di deket batu yang tempat kami naruh-naruh barang, ada hewan-hewan tak kasat mata yang gigit-gigit, berasa digigit semut gitu. Semakin jauh ke tengah laut malah nggak digigitin.   

Kelihatan udah mulai berubah warna haha
Pose wajib kalau berenang ya haha

Awalnya sih niat sejam doang berenang, eh keterusan sampai jam 11 siang, yah taulah konsekuensinya apaan haha. Terus, saya harus mencari sumur dulu untuk bilas dan keramas. Jadi inget sewaktu SD dulu, mandi masih di sumur gitu, jadi terbuka. Saya masih pakai baju renang kok mandi dan keramas, walauapun mandinya nggak bersih banget jadinya. Biasanya kalau habis berenang pasti capek dong, pengen tidur kan? Eits, di pulau ini hal yang sangat dilarang untuk tidur pada pukul 08.00 – 14.00. Lha kenapa? Kalau orang di sini bilang “hei, jangan tidur jam segini, nanti mati” Buset serem amat dah. Alasannya ternyata karena di pulau ini termasuk endemik malaria, dimana biasanya mereka mencari mangsa di pagi dan siang hari gitu. Jadi, saya pun harus main keluar rumah orang biar kagak keinget ngantuknya.

Dermaga sementara yang ada di Pulau Maradapan, tetapi ini nggak digunakan untuk bersandar

Nyantai-nyantai di dermaga sambil jagain pisang (?)

Pisang Mamurung: Montok dan Manis
Saya pun memutuskan main ke dermaga haha. Ternyata sudah ada puluhan tandan pisang yang berjejer. Namanya pisang mamurung. Ukurannya besar dan montok, terus manis! Enak banget dah pokoknya. Terus harganya, murah banget…..setandan paling Rp 25.000 – Rp 30.000 aja. Kenapa murah? Ya itu, jumlahnya melimpah banget di pulau ini. 

Anak-anak di sini seneng banget difoto, mungkin karena jarang-jarang ada yang motoin
Sorenya kami ada kegiatan kelas sore, yang diadakan divisi pendidikan. Ngajar anak-anak kecil gitu. Di sini hanya ada satu sekolah dasar, satu SMP rintisan, yang artinya masih baru banget. Jika ingin menempuh pendidikan SMA perlu keluar pulau terlebih dahulu.

Satu-satunya SD yang ada di Pulau Maradapan

Anak-anak Maradapan yang narsis hehe
Masalah lain yang dihadapi pulau ini adalah sampah. Maradapan belum memiliki tempat pembuangan akhir untuk sampah rumah tangga. Jadi, ya gitu sampah dibuang di bawah jembatan yang ada menuju desa sebelah. Dibiarkan menumpuk gitu aja. Di bibir pantai pun sangat terlihat sampah yang berjemur cantik dimana-mana. Terus, nggak semua rumah punya kamar mandi lho. Nah, lho. Terus? Ya, jadi ada yang buangnya di laut mungkin. Hhmm…atau mungkin di belakang rumah. Saya pun kurang begitu paham awalnya.

Sampah yang berserakan di pinggir pantai :(
Awalnya pun saya heran kenapa ada yang mau tinggal di pulau ini. Menurut saya sih aksesnya cukup sulit, nggak ada listrik, susah (pake banget) sinyal, terus kalau musim kemarau ya susah air juga. Sebenarnya sih untuk kebutuhan pokok, memang pulau ini sudah layak untuk dihuni, seperti ikan yang melimpah, pisang melimpah, setidaknya ada sumber air juga.  Hanya saja, sepertinya potensi yang ada di pulau ini memang harus menjadi perhatian pemerintah setempat. Paling tidak, agar masyarakat di sini juga dapat berkembang. Menyadari bahwa pemerintah pun sadar kalau ada potensi di pulau terpencil ini yang harus diekspose.


*Foto: Dokumentasi Tim ENJ UGM 2017 dan dokumentasi pribadi

No comments:

Post a Comment