Thursday, March 15, 2012

D I S P E N


Oke, diawali dengan "Apa itu DISPEN?" Jadi, menurut pandangan Putu Novi Arfirsta Dharmayani dispen merupakan alasan dimana anda akan tidak belajar untuk beberapa saat karena alasan yang jelas, namun belum tentu efektif secara sadar. Jelas-jelas dispen itu nggak berpengaruh banyak sih sebenernya. Kecuali dispen untuk keluar sekolah, ya pastinya harus diambil dispennya.
Mengambil dispen berarti anda akan siap menerima konsekuensi yang jelas, yaitu NGGAK BELAJAR DI KELAS.
Maka, anda akan kehilangan waktu-waktu bersama teman-teman anda, kehilangan untuk bersenang-senang, bahkan anda tidak akan mengerti materi apa yang diajarkan. Miris. Ya, begitulah. Pada dasarnya dispen itu bertujuan membuat seseorang agar lebih fokus pada satu hal. Nah, bisa sudah bergesekan dengan kata "FOKUS" berarti anda akan bertemu dengan kata "PENGORBANAN"
Anda akan mengorbanankan hal-hal yang bisa jadi sangat penting bagi kelangsungan anda. Waktu anda akan tersita sedemikian rupa untuk fokus pada satu hal. Menjadi orang fokus sangatlah sulit. Ya, sama dengan hanya duduk di kursi berjam-jam-jam-jam. Pasti ada titik jenuh dan kebosanan akutnya.
Itu hanya prolog dari gue yaaa..
Back to my case
Oke, sekarang gue mengalami yang namanya dispen berantai dimana gue terus-terusan kagak masuk, yah nggak ada yang salah sih sebenernya. Karena itu yang harus gue jalanin. Tapi seperti biasa pasti membuat orang galaaaaaaaaaaaaaau!!
Sekali lagi GALAU!
G-A-L-A-U
Sudah sangat jelas kan, saudara-saudara -_______________-
Sekarang nilai-nilai gue jadi taruhannya, hiks :'
Pengennya tetep belajar, sekarang lagi semangat-semangatnya belajar, coba giliran sekolah belajar, yaaaaaaa ampuuuuuuuun, pengennya pulang melulu. Biasalah manusia sekarang sudah rusak sensornya haha.
Ya, Tuhan. Semoga hambamu ini tetap bisa mengikuti pelajaran secara otodiak. Berikan kekuatan dan pencerahan o:)
God Bless Me, Om Santhi, Santhi, Santhi Om
Suksma!!

Tuesday, March 13, 2012

Keadilan, Mau Dibawa Kemana?


Oleh : Putu Novi Arfirsta Dharmayani
Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berpegang teguh pada hukum. Salah satu ciri dari negara demokratis adalah adanya penegakkan hukum tanpa pandang bulu, tak mengenal status, keadilan untuk semuanya sama. Lembaga peradilan sebagai penjaga gawang terakhir sering kali lolos dari pengawalan. Bahkan banyak kasus hukum yang diputus bebas karena tidak terbukti secara hukum. Kemampuan aparat penegak hukum masih sangat belum berpihak kepada hukum yang sesungguhnya.
Masalah keadilan memang sedang hangat-hangatnya dibicarakan sekarang ini. Memang menegakkan keadilan membutuhkan kekuatan mental yang kuat. Yang tak mudah patah atau longgar. Keadilan itu untuk seluruh orang, tak memandang bagaimana statusnya atau kedudukannya. Keadilan itu sesungguhnya tak pernah memihak. Maka sering diistilahkan pada ranah hukum, bahwa keadilan itu buta. Maksudnya tak memihak kepada siapapun.
Namun sayang, rasa keadilan tersebut belum menyentuh pada masalah yang mendasar. Moralitas aparat penegak hukum rendah sangat terkait dengan hasil capaian penegakan hukum. Masih mementingkan kepentingan pribadi dan menyalahgunakan posisinya sebagai pelayan masyarakat. Formalitas hukum tercapai subtansi keadilan tidak terpenuhi. Sehingga kasus hukum akan selalu terus terluang. Dan tidak menimbulkan efek jera bagi yang lain.
Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Obsesi pada kepastian hukum ini membawa ke literalisme dengan mengorbankan jiwa hukum. Mengikuti aturan demi aturan berarti menyingkirkan rasa keadilan dalam
menilai kasus-kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu kasus justru harus
ditemukan dalam substansi situasi konkret kasus itu, bukan dalam aturan-aturan
formal yang seolah bisa disesuaikan dengan kasus. Lalu yang terjadi semacam
proses mekanisasi yurisprudensi dalam bentuk mencari aturan yang dapat
diterapkan agar mampu memberi jawaban yang tepat.
Ambil saja contoh, keadilan hukum. Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Masalah hukum menuntut pencarian
keseimbangan antara prinsip, kebijakan, dan asumsi yang tidak tersurat.
Pencarian keseimbangan seperti itu sulit diramalkan, alias tidak pasti.
Banyak kasus-kasus yang sesungguhnya sepele, ditanggapi terlalu serius oleh aparat hukum. Mentang-mentang orang kecil dan tak berpunya. Langsung main jebloskan saja ke penjara. Maka tepat sekali bila orang miskin makin melarat dan jauh dari kata keadilan. Mungkin pasal-pasal yang ada di UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali tersebut, hanya sebagai formalitas. Tanpa ada tindakan nyata dan pasti.
Sejajar di depan hukum. Sejajar? Masih sangat jauh jurang pembatas antara si kaya dan si miskin. Begitu pula dengan keadilan sekarang yang dengan mudah perjual belikan dengan uang. Banyak kasus-kasus sepele yang dilakukan oleh para pelakunya. Mereka yang seharusnya jadi tersangka, malah berbalik menjadi korban dari kesemena-menaan aparat hukum. Ya… “korban” dari kejahatan oknum-oknum yang memanfaatkan perundang-undangan dan karena kesalahan kecil mereka, mereka dipenjarakan. Tak tanggung-tanggung, bisa sampai 5 tahun penjara. Hanya karena mencuri pohon jagung. Parah.
Keadilan kini bernilai harga jual yang sangat tinggi. Mahal. Memperdagangkan hukum sesuai dengan selera mereka. Menguntungkan bagi mereka. Mungkin arti demokrasi berubah haluan. Demokrasi yang seharusnya untuk bersama, kini menjadi milik individu yang berpunya. Makin melaratlah orang-orang miskin.
Sangat menyedihkan dan miris ketika menonton berita di televisi mengenai kriminalitas. Salah satu berita berjudulkan, “Mencuri Sebuah Semangka, Divonis 5 Tahun”. Saat membacanya, mungkin kita akan tertawa dan berkata dalam hati, “Bodoh sekali!”. Sangat lucu bila difikirkan. Tapi itu kenyataannya.
Keluarga tersangka sampai ditipu oleh oknum kepolisian yang menagih uang damai agar kasus langsung dihentikan. Uang sebesar Rp 1 juta telah diterima oleh oknum polisi tersebut. Namun seribu sayang tak dapat ditolak. Janji mereka hanya menjadi janji palsu, toh kasus tersebut tetap berjalan. Sampai akhirnya tersangka divonis 5 tahun penjara. Hanya karena semangka? Adilkah?
Banyak hal-hal sepele lainnya. Seperti dua orang siswa SMPN 2 Maospati yang ditahan hanya karena mencuri jagung. Mereka dilaporkan ke Polsek Maospati. Dan akhirnya mereka dikeluarkan dari sekolah karena “jagung”. Sungguh berlebihan! Perundang-undangan memang menjadi patokkan namun bisa kok mengukur besar kasus yang ditangani. Jangan hanya karena semangkalah, jagunglah, mereka harus ditahan dan dipenjara. Aparat hukum yang lebay.
Kasus seperti itu saja dipenjara sampai 5 tahun. Tapi coba tengok ke kasus yang lebih “wah” lagi. Kasus-kasus heboh yang menggempakan seluruh Indonesia. Tak usah jauh-jauh. Ada Si Gayus Tambunan. Si aktor mafia pajak. Menggelapkan uang sampai Rp 24,6 Milyar. Segitu uang yang dinikmati oleh seorang Gayus, yang diketahui aparat hukum. Yang tidak diketahui? Wah, sangat banyak. Sangat merugikan negara yang mengalami masalah perekonomian.
Bahkan selama ia mendekam dipenjara, dengan mudahnya ia keluar masuk penjara. Cukup dengan menyuap Kepala Rumah Tahanan Markas Komando Brigadir Mobil Kelapa Dua Depok. Sebegitu mudahnya. Tak tanggung-tanggung, Si Gayus bisa bebas pergi ke Macau, Hongkong, Singapura, dan Bali. Tentunya ada komplotan-komplotan tertentu yang siap menjadi backingan mafia kelas kakap ini. Apa pun bisa terjadi dengan uang. Miris sekali.
Uang yang diketahui polisi “hanya” sebesar Rp 24,6 Milyar. Ya…masih banyak rekening-rekening, saham, dan sebagainya yang masih belum diketahui oleh para penyidik. Rabu, 2 Februari 2011 lalu, vonis hukuman untuk Gayus dibacakan. Hukuman untuk Gayus adalah tahanan selama 7 tahun dan denda Rp 300 juta. Sungguh terlalu baik para hakim. Padahal tuntutan yang diajukan selama 20 tahun dan denda Rp 500 juta. Lihat saja jenjang perbedaannya. 13 tahun! Itu saja masih kurang cukup untuk memberikan ganjaran yang pas buat Si Gayus.
Kasus yang tak kalah eksisnya adalah kasus Bank Century yang belum menemui titik terang. Kasus yang mencuat dari 2 tahun lalu ini ,sampai sekarang belum diketahui kabar terbarunya. Ya… mulai redup, lenyap, mungkin menghilang. Skandal yang diperkirakan merugikan uang negara sebesar Rp 6,7 triliun ini masih terombang-ambing. Para korbannya pun belum mendapatkan kepastian yang jelas mengenai keberadaan uang maupun saham yang mereka tanam di Bank Century ini. Sekarang sudah 2011, sudah tak terdengar lagi gaung kasus Bank Century ini. Tertutup oleh kasus-kasus baru.
Kerugian negara yang semakin besar. Keadilan tak berhasil ditegakkan. Kalau sudah kasus yang aktor-aktornya orang-orang besar di Indonesia pasti divonis dengan ringan. Sangat ringan. Banyak koruptor yang hanya dipenjara selama 3 tahun, padahal uang yang telah dinikmatinya ratusan juta, milyaran juta, sampai triliunan juta.
Dari sini saja sudah terlihat, keadilan lebih memihak pada uang. Oh, aparatnya lebih tepat! Tinggal berbisik, memberikan amplop, semua beres. Mudah. Sebegitu mudahnya membeli keadilan. Tak sedikit pula para tersangka yang divonis bebas, atau kasusnya dihentikan ditengah persidangan. Menikmati impunity (bebas dari sanksi hukum). Sekarang semua terlihat seperti orang yang tak berpunya selalu salah. Mereka yang memiliki gelimang harta yang benar. Konyol!
Sungguh menyedihkan Indonesia. Negara yang “katanya”, negara demokrasi. Hanya karena segelintir orang yang memulai, berimbas pada banyak sektor. Orang-orang yang seharusnya tidak duduk di kursi jabatan di lembaga hukum yang menyantap dengan lahap uang-uang yang haram. Orang yang tak terpuji perusak masa depan bangsa. Bila Indonesia terus-menerus memelihara aktor-aktris yang seperti ini, apa jadinya Indonesia?
Rendahnya kesadaran akan kewajiban akan tugas dari perannya yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berbagai kasus ketidakadilan di Indonesia. Tapi yang menjadi faktor penting adalah adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan dan itu menggiurkan. Berawal dari celah-celah kecil yang berusaha diterobos secara perlahan oleh oknum-oknum yang tak terpuji. Sedikit demi sedikit melahap uang negara, eh uang rakyat. Faktor dari individu dan lingkungan. Saling berkaitan menyebabkan hal – hal yang seperti ini terjadi.
Dari sinilah penegakan hukum menjadi sarat akan korupsi dan melahirkan mafia hukum. Lembaga peradilan tidak berwujud menjadi agen dan ujung tombak pembaharuan hukum. Banyak pula pejabat di MK yang diperalat oleh kaum elit.
Ujung-ujungnya rakyatlah yang menjadi korban. Lebih tepatnya rakyat kecil yang semakin melarat. Akibat ulah orang-orang yang tak terpuji ini, distribusi dan subsidi untuk orang-orang yang tak mampu menjadi tersendat. Pelayanan publik juga ikut macet. Hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Merana sekali keadilan di Indonesia ini. Memang semakin jelas terlihat ketidakadilan yang dibuat oleh aparat penegak hukum.
Sekarang masyarakat mulai memandang sebelah mata para penegak hukum. Mereka pilih kasih. Mengasihi orang-orang yang berpunya. Orang jadi malas bila sudah berhubungan dengan polisi atau meja hijau. Terlalu banyak tuntutan yang sebetulnya tidak penting. Dan menguntungkan sebelah pihak.
Seharusnya diperlukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat luas. Dimana orang-orang yang menduduki posisi perangkat hukum adalah yang pro keadilan dan pro kebenaran. Aturan tegas yang paling tidak dapat menjamin terhadap hak-hak rakyat dan perlindungan hukum. Oleh karena itu hukum yang diskriminatif harus diamandemen, sesuai dengan rasa keadilan dan perkembangan masyarakat.
Lembaga yang bersangkutan harus teliti dalam memilih kadernya. Harus ada aparat penegak hukum yang profesional dan memiliki integritas moral yang teruji. Carut marutnya penegakan hukum karena penegak hukum tidak konsisten dengan ilmu hukum dan moralitasnya. Hukum hanya sekedar formalitas atau prosedur, sementara subtansi keadilan kurang disentuh. Sehingga penegakan hukum hanya mandul. Kebutuhan akan keadilan semakin signifikan, sehingga adanya catur wangsa (polisi, jaksa, advokat dan hakim) termasuk pegawai lembaga pemasyarakatan yang seimbang dalam jumlah, kualitas dan profesionalitasnya, menuntut lembaga penegak hukum berbenah diri atau mereformasi diri agar lebih kredibel dipercaya rakyat dalam menjalankan tugas fungsi pokoknya (Tupoksi).
Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakkan hukum secara konsisten. Kesadaran hukum tidak hanya sekedar dimiliki oleh aparat penegak hukum, tetapi kepedulian segenap stakeholder termasuk kelompok strategis, elemen masyarakat sipil menjadi pengawal hukum yang efektif, termasuk pers yang bebas dan bertanggung jawab. Terungkapnya plesiran Gayus mafia pajak di Bali adalah bukti peran eleman masyarakat seperti pers sangat signifikan. Peran masyarakat bisa mendorong ketika macetnya penegakan hukum. Atau adanya penyimpangan dalam proses dan subtansi keadilan. Gerakan mahasiswa bisa mengangkat tema mandulnya penegakan hukum, atau penyimpangan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan adanya presuers group yang bisa mengkritik dan meluruskan penyimpangan. Lembaga pemantau pro justisia, ICW, LBH dan LSM bergandengantangan memberikan support penegakan hukum yang fair dan berkeadilan.
Memang sepatutnya menyatukan kebersamaan dalam memerangi keadilan hukum yang seharusnya milik bersama. Keadilan memang untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang status serta uang yang dimiliki. Uang bukanlah segalanya. Uang mendatangkan banyak masalah termasuk di ranah hukum. Merugikan banyak pihak.
Undang-undang yang telah ada harus lebih dipertegas lagi sanksinya serta tingkat kasus yang ada harus disesuaikan. Jangan sampai kasus-kasus yang telah terjadi terulang dan terulang kembali. Jadikan kejadian tersebut sebagai cermin untuk memperbaiki penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Jangan sampai penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia akan “mandul” seterusnya. Banyak orang yang seharusnya mereka lindungi. Orang-orang yang tak berdaya, tak berpunya. Adil itu milik bersama!

Monday, March 12, 2012

Sebatas Mengejar Angka


Oleh : Putu Novi Arfirsta Dharmayani

Belajar. Tentunya identik dengan dunia para pelajar. Tak pernah ada habisnya, ilmu selalu berkembang dari waktu ke waktu. Istilahnya semasih bisa bernafas dan berfikir, luangkanlah waktu untuk belajar dan belajar. Ilmu tak pernah ada habisnya.

Kalau disinggung tentang pelajar di era sekarang, banyak yang mengklaim bahwa jadwal mereka terlalu padat seperti seorang pekerja kantoran. Berangkat pagi-pagi meninggalkan rumah dan pulang ke rumah ketika matahari telah terbenam. Siapa bilang sebagian besar waktu ada di rumah? Itu mungkin bisa ditentang dengan kenyataan yang ada sekarang ini.

Apalagi siswa SMA sekarang ini. Lebih dari 15 mata pelajaran harus ditampung oleh mereka, tak mengenal kemampuan otak siswanya, yang penting materi bisa terkejar sesuai target. Toh, ujung-ujungnya siswa lagi yang disalahkan karena tak mampu mengikuti pelajaran. Akhirnya belajar disama artikan dengan beban pikiran.

Ditambah lagi dengan tugas dan ulangan yang selalu menghampiri dan memaksa siswa untuk menuntaskan dengan nilai yang maksimal. Tetapi, terkadang ada beberapa guru yang sengaja memberi tugas yang cukup banyak dengan rentang waktu yang singkat. Sekali lagi, siswa tidak hanya meladeni satu atau dua mata pelajaran, namun lebih dari 15 mata pelajaran sehari. Bukan hal yang tak mungkin bila tugas malah berbalik menjadi senjata penjatuh nilai bagi siswa.

Tak hanya menjadi beban bagi para pelajar, tugas dan ulangan yang menumpuk juga memberikan dampak-dampak terhadap perilaku siswa SMA. Berawal dari keadaan mental siswa yang merasa terbebani dengan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan dengan hati lapang. Tugas dan ulangan memang menjadi tanggung jawab bagi para pelajar, namun tidak sepantasnya malah menjadi beban.

Bila keadaan mental pelajar sudah terganggu, tentunya sedikit banyak mempengaruhi perilaku pelajar SMA kebanyakan. Kondisi psikologi pelajar SMA memang sangat rentan dan labil. Pada masa remaja umumnya lebih agresif, perasaannya pun mudah berubah, dan mudah terkena stress.

Hal tersebut dilatar belakangi dengan kurangnya waktu untuk beristirahat maupun berekreasi dengan keluarga atau teman sebayanya. Pelajar pun menjadi bingung mau ngerjakan tugas yang mana terlebih dahulu. Pada akhirnya, pelajar tak melakukan apa pun. Selain itu, pelajar menjadi lebih emosian dan tempramental. Begitu banyak hal yang dipikirkan tak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah.

Tak sedikit pula pelajar yang stress, dengan tuntutan sekian tugas dan ulangan yang mengantri tanpa henti, tak mengenal keadaan dan waktu. Hal ini juga mempengaruhi interaksi pelajar dengan orang lain, tak hanya dengan sesama pelajar, namun juga pada guru, orang tua, dan yang ada di sekitarnya. Pelajar menjadi acuh tak acuh dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Timbulah rasa masa bodoh dan tak peduli terhadap orang yang di sekitarnya.

Ditambah lagi mampu menggangu kesehatan pelajar. Keadaan mentalnya saja sudah tidak beres, bagaimana otak bisa berfikir lebih tenang dan jernih. Pikiran menjadi tak terkoordinasi dengan baik. Akhirnya, semua terbengkalai begitu saja, karena bingung mau mendahulukan yang mana. Hasil tugas dan ulangan tidak semaksimal yang diharapkan.

Sudah seharusnya tugas sekolah dan ulangan harian tidak berikan pada waktu yang bersamaan. Guru cukup memilih salah satu untuk memberikan tugas atau ulangan dengan tenggang waktu yang tepat, agar pelajar bisa mempersiapkannya dengan baik dan memperoleh hasil yang maksimal.

Ada baiknya jika guru mengkaji ulang seberapa banyak tugas dan ulangan yang dihadapi siswanya dalam seminggu. Ini demi kebaikan siswa tentang pemahamannya, bukan untuk nilai besar tapi tak mengerti apa-apa. Guru-guru diharapkan lebih sering berkomunikasi dengan guru lainnya, agar bisa membagi tugas dan ulangan dengan tepat tanpa membebani pikiran pelajar. (pna)