Monday, March 12, 2012

Sebatas Mengejar Angka


Oleh : Putu Novi Arfirsta Dharmayani

Belajar. Tentunya identik dengan dunia para pelajar. Tak pernah ada habisnya, ilmu selalu berkembang dari waktu ke waktu. Istilahnya semasih bisa bernafas dan berfikir, luangkanlah waktu untuk belajar dan belajar. Ilmu tak pernah ada habisnya.

Kalau disinggung tentang pelajar di era sekarang, banyak yang mengklaim bahwa jadwal mereka terlalu padat seperti seorang pekerja kantoran. Berangkat pagi-pagi meninggalkan rumah dan pulang ke rumah ketika matahari telah terbenam. Siapa bilang sebagian besar waktu ada di rumah? Itu mungkin bisa ditentang dengan kenyataan yang ada sekarang ini.

Apalagi siswa SMA sekarang ini. Lebih dari 15 mata pelajaran harus ditampung oleh mereka, tak mengenal kemampuan otak siswanya, yang penting materi bisa terkejar sesuai target. Toh, ujung-ujungnya siswa lagi yang disalahkan karena tak mampu mengikuti pelajaran. Akhirnya belajar disama artikan dengan beban pikiran.

Ditambah lagi dengan tugas dan ulangan yang selalu menghampiri dan memaksa siswa untuk menuntaskan dengan nilai yang maksimal. Tetapi, terkadang ada beberapa guru yang sengaja memberi tugas yang cukup banyak dengan rentang waktu yang singkat. Sekali lagi, siswa tidak hanya meladeni satu atau dua mata pelajaran, namun lebih dari 15 mata pelajaran sehari. Bukan hal yang tak mungkin bila tugas malah berbalik menjadi senjata penjatuh nilai bagi siswa.

Tak hanya menjadi beban bagi para pelajar, tugas dan ulangan yang menumpuk juga memberikan dampak-dampak terhadap perilaku siswa SMA. Berawal dari keadaan mental siswa yang merasa terbebani dengan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan dengan hati lapang. Tugas dan ulangan memang menjadi tanggung jawab bagi para pelajar, namun tidak sepantasnya malah menjadi beban.

Bila keadaan mental pelajar sudah terganggu, tentunya sedikit banyak mempengaruhi perilaku pelajar SMA kebanyakan. Kondisi psikologi pelajar SMA memang sangat rentan dan labil. Pada masa remaja umumnya lebih agresif, perasaannya pun mudah berubah, dan mudah terkena stress.

Hal tersebut dilatar belakangi dengan kurangnya waktu untuk beristirahat maupun berekreasi dengan keluarga atau teman sebayanya. Pelajar pun menjadi bingung mau ngerjakan tugas yang mana terlebih dahulu. Pada akhirnya, pelajar tak melakukan apa pun. Selain itu, pelajar menjadi lebih emosian dan tempramental. Begitu banyak hal yang dipikirkan tak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah.

Tak sedikit pula pelajar yang stress, dengan tuntutan sekian tugas dan ulangan yang mengantri tanpa henti, tak mengenal keadaan dan waktu. Hal ini juga mempengaruhi interaksi pelajar dengan orang lain, tak hanya dengan sesama pelajar, namun juga pada guru, orang tua, dan yang ada di sekitarnya. Pelajar menjadi acuh tak acuh dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Timbulah rasa masa bodoh dan tak peduli terhadap orang yang di sekitarnya.

Ditambah lagi mampu menggangu kesehatan pelajar. Keadaan mentalnya saja sudah tidak beres, bagaimana otak bisa berfikir lebih tenang dan jernih. Pikiran menjadi tak terkoordinasi dengan baik. Akhirnya, semua terbengkalai begitu saja, karena bingung mau mendahulukan yang mana. Hasil tugas dan ulangan tidak semaksimal yang diharapkan.

Sudah seharusnya tugas sekolah dan ulangan harian tidak berikan pada waktu yang bersamaan. Guru cukup memilih salah satu untuk memberikan tugas atau ulangan dengan tenggang waktu yang tepat, agar pelajar bisa mempersiapkannya dengan baik dan memperoleh hasil yang maksimal.

Ada baiknya jika guru mengkaji ulang seberapa banyak tugas dan ulangan yang dihadapi siswanya dalam seminggu. Ini demi kebaikan siswa tentang pemahamannya, bukan untuk nilai besar tapi tak mengerti apa-apa. Guru-guru diharapkan lebih sering berkomunikasi dengan guru lainnya, agar bisa membagi tugas dan ulangan dengan tepat tanpa membebani pikiran pelajar. (pna)

No comments:

Post a Comment