Pernah nggak denger Pulau Maradapan? Atau
sekarang katanya lebih dikenal secara administratifnya Pulau Kadapangan?
Melanjutkan
cerita perjalanan ENJ yang telah saya tulis sebelumnya mengenai ‘behind the scene’-nya. Oke, mungkin
sebelumnya ada yang nanya, “kok bisa sih nemu tuh pulau?” Sebenarnya awalnya
pun, kami mencetuskan lokasi dari tim ENJ UGM itu di Maradapan, karena
berdasarkan jalur yang telah disediakan, nama pulau ini cukup mencuri
perhatian. Enggak tau kalau perhatian dia ke kamu gimana ya..*plak*
Jalur
yang disediakan sesuai dengan kapal-kapal yang memang disediakan dari pusat gitu,
jadi kami tinggal memilih pulau mana yang dilalui kapal tersebut. Dikarenakan
posisi kami di Jawa, jadi tidak begitu banyak pilihan yang bisa dipilih kalau
ingin tetap berangkat dari salah satu pelabuhan yang ada di Jawa. Pilihan yang
sangat memungkinkan adalah yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya. Terpilihlah jalur Kapal Sabuk Nusantara 57, yang ternyata menuju
Kalimantan Selatan. Nah, lumayan kan bisa mampir provinsi lain di pulau lain ‘kan.
Ketika
awal-awal memutuskan memilih Pulau Maradapan ini sih, jujur saja, kami agak gambling. Coba aja deh searching di google. Bahkan,
mesin pencari nomor satu di dunia ini, hanya memiliki sedikit sekali tautan
mengenai pulau ini, yang lebih herannya lagi, di google maps, ada tulisan Pulau
Maradapan tapi nggak ada pulaunya coba. Piye coba? Sepertinya memang kami perlu
memperbaiki titik lokasi Pulau Maradapan. Setelah kami tau nama aslinya, ternyata
di google maps mengenalnya sebagai Pulau Kadapangan.
Keywords
yang sering muncul begitu mengetik “Maradapan” adalah Air Asia, jenasah, dan evakuasi.
Ternyata ada beberapa jenasah korban Air Asia yang ditemukan di sekitaran pulau
ini. Awalnya hanya mendapat informasi itu saja, ditambah informasi administratif
lain, seperti luas pulau, jumlah KK, potensi alam, yang sebenarnya informasinya
juga masih minim.
Setiap
ada orang yang menanyakan kami akan kemana, begitu mendengar Pulau Maradapan,
mereka – orang pulau tetangga lainnya – memberikan kami beberapa peringatan,
seperti jangan langsung menerima makanan di sana, jangan langsung mandi, jangan
tidur di pagi hari. Cukup banyak pengingat yang memberikan kami masukan.
Well, langsung aja sekarang gimana sih
sebenarnya Pulau Maradapan itu?
Seperti
yang sudah saya sampaikan dipostingan sebelumnya, selalu aja cerita yang unexpected terjadi dalam perjalanan ini.
Setelah dua hari mengarungi lautan, akhirnya kami benar-benar-benar sampai di
Pulau Maradapan (ya..masih inget rasanya diPHP berkali-kali sebelumnya).
Sekilas lautnya bening banget, pulaunya cenderung berbentuk bukit gitu dan yang
lebih mengagetkan 65% lahannya penuh sampai pohon pisang, bukan pohon kelapa! How can? Saya pun tak tau alasannya.
Cerita seru yang nggak akan pernah saya lupakan adalah cara kami ke daratan yang ternyata sangat-membutuhkan-usaha-keras-yang-luar-biasa. Ada beberapa tahapan yang perlu kami lalui. Pertama, Pulau Maradapan nggak punya dermaga, jadi kapalnya hanya bisa berlabuh dan agak jauh dari pulau. So, kami harus naik kapal getek yang lebih kecil untuk menuju pulau. Awalnya barang-barang diutamakan untuk dipindahkan ke atas kapal. Kemudian, kami berpamitan dulu dengan captain dan abk. Mulailah satu per satu turun ke kapal getek. Seingat saya sih nggak samapi 10 menit, kapal berhenti. Lha? Padahal daratan masih jauh deh dan ini masih dalem ya lautnya. Terus? Kami cuman bisa saling tengak-tengok doang. Nah, sebenarnya didekat kami berhenti sudah ada sebuah sterofoam besar yang mengapung. Kami heran kenapa ada sterofoam sebesar itu di sini. DAN! Jeng..jeng..jeng…itu digunakan untuk memindahkan penumpang ke daerah yang lebih dangkal airnya. EHHH?! Maksudnya?
Ini foto dari atas kapal getek sebelum move ke atas sterofoam |
“Pak,
beneran nih naik ke atas sterofoam?” “Iya, naik aja aman”
Akhirnya
saya dan lima teman saya yang lain move ke atas sterofoam itu. Temen saya sih
ada yang agak takut dikit, gimana nggak takut kalau nyemplung yaudah deh tuh
wafat dua kamera fuji yang dia bawa. Saya pun agak parno, takut tiba-tiba
nyemplung, ‘kan bawa hape, kamera pocket, terus duit tim juga. Untungnya ada
dua orang ahli yang membantu kami berpindah. Waktu itu anginnya cukup kencang,
so ombaknya juga lumayan bikin goyang-goyang cantiq kayak via vallen.
Mulainya
kami perlahan-lahan menjauh dari kapal getek, dan…angin bertiup wuuuus. Topi
saya terbang saudara-saudara! “Yaaaah, topi akuuuu” terus tiba-tiba BYUUUR! Untungnya
bukan kami yang nyebur, ternyata salah seorang bapak yang mengantarkan kami,
langsung nyebur gitu aja menyelamatkan topiku. OMG. Bapaknya langsung basah
kuyub. Setelah sekitar lima menit bergerak mendekati daratan, terus bapaknya
menghentikan sterofoamnya lagi. Lha, kenapa lagi sih? Kami disuruh turun.
Padahal airnya masih agak tinggi, pas nyemplung tingginya di atas lutut. Yang
lebih bikin ‘huff’ adalah jaraknya masih jauh ke daratan coy! Maybe, masih
perlu berjalan 300 meter lagi lah.
Tantangan benteng takeshi kali ini adalah
berjalan diantara karang-karang dan jebakan bulu babi. Untungnya nih air laut
bening banget, jadi langsung keliatan banget dimana ada bulu babinya. Jadilah
kami berpasang-pasangan berjalan menuju daratan. Kami sudah melihat beberapa
warga menanti kami, memberikan arahan kemana harusnya kami berjalan. Jujur
saja, saya agak takut jalan diantara karang-karang, takut ada binatang-binatang
aneh yang terinjak, tapi jadinya sih hampir semuanya tetep pakai sandal gunung
waktu jalan.
Setelah
sampai di dekat jembatan yang terlihat seperti dermaga sementara, kami akhirnya
benar-benar-benar-benar-benar sampai saudara-saudara!!! Setelah naik tangga ke
atas, kami pun bersalaman dengan warga yang menyambut kami. Saya hanya bisa
ketawa ngelihat temen-temen yang masih berjuang untuk mencapai daratan. Ada
tiga kloter sterofoam jadinya.
Terus,
barang-barang kalian yang seabrek itu gimana dong? Awalnya pun saya nggak habis
pikir, gimana cara memindahkan tuh kardus yang ada beratnya sampai 10 kilo
lebih. Ya, kali harus melewati tantangan benteng takeshi lagi ‘kan. Ternyata,
barang akan ditinggalkan sementara di kapal getek. Menunggu air pasang dulu,
supaya kapal bisa merapat ke daratan dan itu sekitar jam 17.30 kalau nggak
salah. Saya salut banget dah sama orang-orang asli sini, harus basah dulu biar
bisa sampai daratan.
Foto ini saya ambil dari atas dermaga sementara. Nah, yang saya bilang pemecah gelombang itu, tempat anak kecil duduk itu. |
Baiklah, ini baru cerita di satu jam pertama saya menuju dan sudah sah sampai Pulau Maradapan. Bagaimana selanjutnya? Tunggu postingan selanjutnya lagi ya. Masih ada banyak cerita nyeleneh lain yang saya alami di perjalanan yang penuh kesan ini.
No comments:
Post a Comment