Lanjut lagi dengan cerita perjalanan ENJ. Sesampainya di sana, mereka sangat menyambut kami dengan hangat dan ramah. Taukah kalian, ternyata kami adalah tamu terjauh yang pernah mengunjungi pulau ini. Waduh. Begitulah yang disampaikan perangkat desa di sana. Mungkin bupati belum pernah ke pulau ini, mungkin. Baiklah, mari mulai mengulas Pulau Maradapan, uhuy.
Gimana sih rumah di sana?
Sebagaian
besar rumah di sini, rumah panggung, jadi dibawahnya masih ada sela cukup
banyak, terus ada tangganya untuk menuju rumah. Yang bikin agak serem menurutku
adalah ternyata tiang-tiangnya dipasang gitu aja, bahkan ada yang ditaruh
diatas batu gitu, kalau ada yang tingginya beda-beda tiangnya. Herannya juga,
kok bisa tetep kokoh ya. Seperti yang udah saya sampaikan sebelumnya kalau
Pulau Maradapan ini bentukannya bukit, jadi susah banget nyari daerah yang
datar. Nah, untuk beberapa orang yang lebih berpunya, rumahnya udah kayak rumah
pada umumnya yang disemen, dan bukan jenis rumah panggung. Termasuk rumah yang
kami tinggali selama di Pulau Maradapan. Ada dua rumah yang menjadi tempat kami
tinggal, satu rumah khusus yang perempuan dan satu rumah khusus untuk yang
laki-laki.
Rumah panggung ada di kanan, yang kiri udah ada yang kayak rumah pada umumnya |
Airnya gimana kak?
Namanya
juga di pulau, kadang air memang menjadi permasalahan. Sebenernya sih, pulau
ini punya sumber mata airnya sendiri, katanya sih dari bukit gitu. Jadi ada
beberapa sumur yang tersebar di beberapa titik seantero pulau. Asin gak? Nah
ini juga herannya, enggak asin sih. Sekali pun sumurnya terbilang cukup dekat
dari bibir pantai. Nah, cuman nggak semuanya benar-benar bersih dan nggak
berbau. Jadi, saya sempat mencoba beberapa sumur yang ada di sana, ngebandingin
gitu sih, memang yang lebih jauh dari bibir pantai itu lebih bagus dan lebih
bersih airnya.
Listrik?
Susah pasti ya?
Begitulah…tiang
listrik aja kagak ada deh setauku. Jadi di pulau ini ada panel surya cukup
besar gitu deket pesisir pantai, sepertinya untuk supply listrik di desa ini
sih. Mau ada kulkas? Yaelah ngimpi banget dah, udah syukur ada listrik dari jam
18.00 – 22.00. Cuman untuk beberapa keluarga yang memang lebih berpunya
biasanya punya genset sendiri di rumahnya. Itu pun ya digunakan seperlunya
saja, karena beli solar kan kudu keluar pulau juga ‘kan. Eh tapi ternyata, di
rumah yang saya tinggali tv-nya, tv flat lho. Nggak mau ketinggalan jaman juga
dong ya. Terus punya pure it juga!
Yah,
sinyalnya juga brekele dong?
Yap,
benar sekali. Salah satu tantangan wajib kalau udah ke daerah antah berantah
adalah masalah listrik dan sinyal. Biasanya sih memang berbanding lurus, susah
listrik biasanya ya susah sinyal juga. Untungnya ini bukan pengabdian pertama
saya yang tanpa sinyal, sebelumnya saya pernah dua bulan susah sinyal saat KKN.
Sesungguhnya tempat ini jauh lebih sulit lagi. Kenapa? Karena sinyal hanya ada
di satu lokasi di pulau ini. Perlu berjalan dulu mungkin sejauh 1,5 km dulu
lah. Melewati hutan dan pohon pisang. Tenang, jalurnya sudah sangat jelas,
karena baru saja jalur menuju dusun sebelah diresmikan. Jalannya hanya selebar
1,5 meter. Lumayanlah, jalannya naik terus – naik naik ke puncak bukit mencari
sinyal tinggi tinggi sekali – hehe. Nah, posisinya tepat di atas kuburan. Ya,
kuburan. Paling hanya sepanjang 5 meter saja, sinyalnya ada. Itu pun perlu
adaptasi dulu handphonenya, hanya satu provider yang ada sinyalnya. Tidak lain
dan tidak bukan adalah telkomsel. Biasanya kalau sore sih lumayan anak muda
nongkrong di sini, buat nelfonan sama orang di luar pulau gitu.
Ini jalan yang menuju dusun sebelah dan tempat sinyal. Ini pun baru saja jadi ternyata. Hanya disemen saja. |
Terus
ngapain aja dong di sana?
Baiklah,
saya akan menceritakan apa yang kami lakukan di pulau tersebut. Kami dibagi
menjadi dua tim, yaitu tim kepulangan 1 dan tim kepulangan 2. Pembagian tim ini
sih berdasarkan waktu yang sudah disepakati, awalnya sih mau bareng-bareng
baliknya tanggal 14 September, namun berhubung jadwal yang terus berubah-ubah
nggak jelas, yang sudah ada tanggungan di Yogya pulang lebih awal. Sisanya
menunggu kapal selanjutnya yang akan datang sekitar 10-14 hari kemudian.
Sebenarnya
apa yang kami lakukan di pulau ini tidak jauh berbeda seperti waktu KKN,
bedanya hanya waktunya yang lebih singkat. Divisi kami hanya ada empat, yaitu
divisi pendidikan, lingkungan, ekonomi dan pariwisata, serta kesehatan.
Kebetulan saya bendahara, jadi nggak masuk di keempat divisi tersebut. Jadilah
saya membantu proses dokumentasi.
Yeay! Panen hari ini banyak lho! |
Hari
pertama saya diajak untuk memanen singkong bersama pemilik rumah, wah lumayan
nih. Kami perlu berjalan ke bukit dulu, nggak begitu jauh sih kalau yang ini.
Kemudian, dimasak deh. Bumbunya sih seadanya aja. Jangan harap ada bumbu balado
hehe.
Lagi ngupas dan motong-motong singkong |
Oh iya, di sini juga ada banyak warung lho! Warung kecil-kecilan gitulah.
Perempuan di sini terbiasa untuk menggunakan bedak dingin di siang hari, karena
panasnya cuaca. Berkat berkunjung ke pulau ini saya jadi paham, kenapa sih
orang-orang pulau mukanya sering putih-putih, kadang nggak merata gitu keknya,
nah itu ternyata bedak dingin yang dipakai. Terbuat dari beras dan air mawar.
Katanya bagus juga untuk kulit lho.
Nah ini maksud saya, pakai bedak dingin. Versi pakai bedak dingin agak ketebelan hehe. Masih amatir sih, pertama kali nyoba nih. |
Saya
juga menyempatkan diri ke dusun sebelah, yang kalau jalan aja perlu 1,5 jam
lebih. Kalau sore-sore banyak yang main voli ternyata. Saya sempat mengunjungi
rumah pak RT juga. Waktu kami datang, kami disuguhi kopi. Nah, jujur saja saya
orangnya nggak bisa minum kopi hitam, atau bukan kopi rasa-rasa. Awalnya saya
kira itu kopi asli Maradapan, tenyata kopi sachetan haha. Bego juga sih saya,
mana ada kopi asli Maradapan. Ketika balik ke rumah, saya melihat sunset bagus
banget! Mataharinya bulet banget sewaktu terbenam.
Yahud banget sunsetnya! |
Nggak afdol rasanya kalau main ke pulau,
tapi nggak nyicipin lautnya.
Baru sampai di tempat untuk berenang |
Tentunya
saya sudah persiapan dari jauh-jauh hari hahaha. Akhirnya beli snorkel demi
nyoba snorkeling di Maradapan. Kami pun diantar oleh pemudah setempat untuk menuju
lokasi untuk ‘nyebur’. Kalau nggak salah mungkin sejauh 1 km lebih dari rumah
yang saya tempati. Seperti yang sudah saya sampaikan dipostingan sebelumnya,
airnya bening! Baru nyampe aja saya udah nggak sabaran mau nyemplung. Eits,
ingat pemanasan dulu ya biar nggak kram.
Sebelum mulai berenang, yah masih bening diri saya |
Overall,
not bad sih. Cuman kalau bandingin ama tempat lain sih, emang ada yang jauh
lebih bagus dari ini sejauh saya pernah snorkeling. Saya sempat melihat kerang
mutiara. Jenis ikannya nggak terlalu banyak kalau di spot saya ini, kalau mau
yang lebih bagus, tentunya perlu lebih ke jauh lagi, yang lebih dalam lautnya.
Yang menarik adalah sewaktu saya berenang di deket batu yang tempat kami
naruh-naruh barang, ada hewan-hewan tak kasat mata yang gigit-gigit, berasa
digigit semut gitu. Semakin jauh ke tengah laut malah nggak digigitin.
Kelihatan udah mulai berubah warna haha |
Pose wajib kalau berenang ya haha |
Awalnya
sih niat sejam doang berenang, eh keterusan sampai jam 11 siang, yah taulah
konsekuensinya apaan haha. Terus, saya harus mencari sumur dulu untuk bilas dan
keramas. Jadi inget sewaktu SD dulu, mandi masih di sumur gitu, jadi terbuka.
Saya masih pakai baju renang kok mandi dan keramas, walauapun mandinya nggak
bersih banget jadinya. Biasanya kalau habis berenang pasti capek dong, pengen
tidur kan? Eits, di pulau ini hal yang sangat dilarang untuk tidur pada pukul
08.00 – 14.00. Lha kenapa? Kalau orang di sini bilang “hei, jangan tidur jam
segini, nanti mati” Buset serem amat dah. Alasannya ternyata karena di pulau
ini termasuk endemik malaria, dimana biasanya mereka mencari mangsa di pagi dan
siang hari gitu. Jadi, saya pun harus main keluar rumah orang biar kagak
keinget ngantuknya.
Dermaga sementara yang ada di Pulau Maradapan, tetapi ini nggak digunakan untuk bersandar |
Nyantai-nyantai di dermaga sambil jagain pisang (?) |
Pisang Mamurung: Montok dan Manis |
Saya
pun memutuskan main ke dermaga haha. Ternyata sudah ada puluhan tandan pisang
yang berjejer. Namanya pisang mamurung. Ukurannya besar dan montok, terus
manis! Enak banget dah pokoknya. Terus harganya, murah banget…..setandan paling
Rp 25.000 – Rp 30.000 aja. Kenapa murah? Ya itu, jumlahnya melimpah banget di
pulau ini.
Anak-anak di sini seneng banget difoto, mungkin karena jarang-jarang ada yang motoin |
Sorenya kami ada kegiatan kelas sore, yang diadakan divisi
pendidikan. Ngajar anak-anak kecil gitu. Di sini hanya ada satu sekolah dasar,
satu SMP rintisan, yang artinya masih baru banget. Jika ingin menempuh
pendidikan SMA perlu keluar pulau terlebih dahulu.
Satu-satunya SD yang ada di Pulau Maradapan |
Anak-anak Maradapan yang narsis hehe |
Masalah
lain yang dihadapi pulau ini adalah sampah. Maradapan belum memiliki tempat
pembuangan akhir untuk sampah rumah tangga. Jadi, ya gitu sampah dibuang di
bawah jembatan yang ada menuju desa sebelah. Dibiarkan menumpuk gitu aja. Di
bibir pantai pun sangat terlihat sampah yang berjemur cantik dimana-mana.
Terus, nggak semua rumah punya kamar mandi lho. Nah, lho. Terus? Ya, jadi ada
yang buangnya di laut mungkin. Hhmm…atau mungkin di belakang rumah. Saya pun
kurang begitu paham awalnya.
Sampah yang berserakan di pinggir pantai :( |
Awalnya
pun saya heran kenapa ada yang mau tinggal di pulau ini. Menurut saya sih
aksesnya cukup sulit, nggak ada listrik, susah (pake banget) sinyal, terus
kalau musim kemarau ya susah air juga. Sebenarnya sih untuk kebutuhan pokok,
memang pulau ini sudah layak untuk dihuni, seperti ikan yang melimpah, pisang
melimpah, setidaknya ada sumber air juga.
Hanya saja, sepertinya potensi yang ada di pulau ini memang harus
menjadi perhatian pemerintah setempat. Paling tidak, agar masyarakat di sini
juga dapat berkembang. Menyadari bahwa pemerintah pun sadar kalau ada potensi
di pulau terpencil ini yang harus diekspose.
*Foto: Dokumentasi Tim ENJ UGM 2017 dan dokumentasi pribadi
*Foto: Dokumentasi Tim ENJ UGM 2017 dan dokumentasi pribadi
No comments:
Post a Comment